Strategi pengemis di Jerman

Giessen an de Lahn – Tidak hanya Indonesia, Jerman juga memiliki masalah pengemis dan homeless (tuna wisma). Mereka berjuang untuk bertahan di kerasnya hidup di daerah urban. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa hasil mengemis juga dipakai untuk minum-minum. Strategi yang digunakan pengemis di Jerman ini cukup unik untuk diamati.

20160903-20160903_1509001

Sedang beraksi di sudut salah satu kota di Jerman, dengan smartphone di pangkuannya  (Foto: Kurniawan, 2016)

Kebanyakan pengemis menggunakan cara standar. Maksudnya dengan duduk di emperan toko atau di tengah keramaian sambil menengadahkan tangan atau mangkuk serta meletakkan tulisan kalau dia membutuhkan bantuan untuk makan atau minum (biasanya bir). Biasanya mereka akan tetap disana selama 2-3 jam kemudian akan pergi, entah pindah atau pulang. Kadang mereka meninggalkan begitu saja aksesoris mengemisnya di emperan toko, entah mereka akan kembali lagi atau tidak.

Ada pengemis yang ditemani anjing. Cara ini memiliki keuntungan karena selain sebagai teman, anjing ini juga digunakan untuk menarik simpati. Tak jarang pengemis meletakkan dua mangkok, satu di depannya dan satu lagi di depan anjingnya. Dan biasanya mangkok di depan si anjing lebih banyak terisi uang. Berbeda dengan di Indonesia dimana pengemis membawa anak untuk menarik simpati, di Jerman hal ini jelas di larang. Si anak akan “disita” (diambil alih negara) dan si pengemis akan dipenjara dan didenda. Tapi hal ini tidak berlaku bagi pengemis yang membawa anjing. Anjing tidak akan disita dan pemiliknya tidak akan dipenjara, kecuali jika ada yang melaporkan kalau sang pengemis melakukan kekerasan terhadap peliharaannya.

Ada juga yang sambil memainkan alat musik. Tapi mereka tidak mau disebut pengemis, tapi street performer atau street musician. Tapi ya kalau penampilannya jelek, ya… siap-siap dibilang pengemis, deh… he… he…he.

Ada lagi model pengemis yang sangat unik di sekitar Frankfurt. Pengemis ini membuat kerajinan miniatur mobil dari kaleng minuman bekas. Uniknya, dia tidak menjual kerajinan ini. Jika tertarik dan suka, silahkan lihat dan berdonasi di tempat yang disediakan. Uniknya lagi, dia tidak suka jika hasil karyanya dipegang atau dimainkan.

Ada pula pengemis yang menyaru sebagai orang biasa. Biasanya mereka beroperasi di stasiun kereta api. Tidak seperti pengemis jalanan, tipe pengemis ini berpakaian seperti layaknya orang biasa, meski agak dekil. Mereka akan mendekati target dan dengan setengah berbisik meminta uang. Biasanya beralasan untuk makan (ini biasanya dipakai oleh ibu-ibu, yang kadang juga sambil membawa anak). Tapi akan marah dan kesel kalau kita kasih makanan beneran. Ada juga yang beralasan kalau dia kekurangan uang 1-2 euro untuk membeli tiket pulang ke kota lain (biasanya dipakai bapak-bapak). Tentu saja cara ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan jangan sampai ketahuan polisi dan ornungsamt.

Ada lagi yang beroperasi di supermarket. Mereka beralasan kekurangan uang 1-2 euro untuk membeli makanan. Bila kita bilang tidak ada uang receh, ada juga yang tetap ngotot kalau mereka punya uang kembalian. Yang model ini tidak jelas apakah mereka benar-benar mengemis atau remaja ababil.

Ada lagi yang agak “kreatif” menipunya. Pengemis ini membawa semacam daftar donasi untuk organisasi yang tidak jelas. Mirid dengan di Indonesia yang meminta sumbangan door to door yang mengatasnamakan pembangunan tempat ibadah atau yayasan yatim piatu. Pengemis ini akan menyapa target di tempat publik yang relatif sepi. Dia akan menunjukkan daftar orang yang telah menyumbang di yayasan “X” berikut besar sumbangan dan tandatangannya, sambil meminta sumbangan/partisipasi dari kita. Tentu saja ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kalau ketemu yang model begini biasanya saya bilang: “Entschuldigung, keine Deutsh und keine Englisch” atau “ngaturaken sedaya lepat nyuwun pangapunten, kulo mbonten saget ngendikan Jerman lan Inggris“.

Ada juga kelompok punk dan hippies. Biasanya mereka menggerombol di sudut keramaian sambil minum bir, berbicara dengan suara keras, dan menyetel musik. Tak lupa mereka menyediakan mangkuk untuk uang donasi, siapa tau ada yang peduli. Biasanya mereka jujur kalau uangnya dipakai untuk minum-minum atau party, karena memang sudah jelas sih. Kadang mereka juga melayani foto bareng. Kelompok ini biasanya cukup meresahkan jika yang berkumpulnya cukup banyak. Kalau begini biasanya  tak lama kemudian polisi akan datang, mengamati sebentar, dan kemudian meminta mereka membubarkan diri.

Oh ya, adalagi yang model traveler bersepeda atau jalan kaki. Entah mereka benar-benar traveler yang kehabisan uang atau hanya sebagai kedok. Atau memang traveler yang memang biayanya dari hasil meminta-minta. Biasanya mereka akan menyapa dengan ramah dan mengajak berbincang-bincang. Kemudian, mulai deh, minta uang 1-2 euro untuk beli makanan atau minuman. Pernah juga ketemu traveler model begini dengan alat bantu jalan. Tapi kok ya gemuk banget. Eh…, sejam kemudian terlihat dia lagi menikmati makanan sendirian di resto elit.

***

Sebenarnya pemerintah Jerman sendiri menyediakan fasilitas tempat penampungan bagi tuna wisma. Mereka hanya perlu untuk registrasi. Fasilitas ini dikecualikan untuk pelaku kriminal dan penduduk ilegal. Namun ada tuna wisma yang menolak menggunakan fasilitas ini dengan berbagai alasan. Mulai dari peraturan dan disiplin yang mengekang (salah satunya pembatasan minuman beralkohol), keharusan untuk hidup sehat, keharusan mencari pekerjaan (plus bimbingan konselingnya), sampai pada alasan gaya hidup.

20161231-dscn0287

Tuna wisma di sudut salah satu kota di Jerman (Foto: Kurniawan, 2016)

Beberapa lembaga sosial bergerak untuk membantu tuna wisma dengan mengumpulkan sumbangan dari donatur. Ada juga yang mengumpulkan sisa roti yang tidak terjual di restoran dan bakery, terus mendistribusikannya kepada tuna wisma ini.

Masyarakat Jerman sendiri sepertinya sudah mengerti hal ini, sehingga mereka jarang memberi uang pada pengemis. Mereka menyadari bahwa memberi uang langsung ke pengemis bukan solusi yang tepat. Itulah mengapa para pengemis ini lebih sering mengincar orang asing.

7 thoughts on “Strategi pengemis di Jerman

  1. Ngga nyangka disana banyak pengemis juga ya? bukannya setiap pengangguran dikasih dana perbulan oleh pemerintah sana?

    Dulu waktu kuliah sempat ada workshop untuk mengangkat budaya dan seni rupa lokal, tapi cuma bentar disana hanya 1 minggu.

    Tidak menjelajahi banyak tempat karena memang tidak sempat. Yang menarik itu, di pinggir jalan kalau malam hari banyak yang mabok, tapi tidak membuat risih, tidak mencari keributan, mereka jalan sempoyongan sambil megang botol minuman, ada yang muntah.

    Oiya mengenai traveler scammer, itu banyak di Bali, dulu sempat kerja 3tahun di Bali. Ada yang ngemis beneran, karena duit habis ngga bisa pulang, tapi itu kesalahan mereka foya foya. Alasan mereka aneh-aneh, mulai dari di rampok, ditipu, dll. Tapi tetap saya tidak akan pernah memberikan uang ke pengemis apapun alasannya, lebih baik uangnya diberikan ke yayasan sosial, atau rumah ibadah.

    Kalau ada pengemis bule seperti itu, saya pasti menyuruh mereka lapor ke polisi dan lapor ke kedubes, kalau tidak ada uang karena dirampok, nanti kedubes bisa urus untuk pulang ke tempat asalnya. Maka dari itu, saya yakin sebagian besar pengemis bule itu bohong tentang alasan mereka mengemis. Kalau tidak bisa pulang tinggal ke kedubes doang.

    Liked by 1 person

    • Ya, Bu. Memang pengangguran dapat uang bulanan dari pemerintah. Tetapi hanya untuk max dua tahun saja. Selama 2 tahun itu, mereka harus menunjukkan telah mengikuti bimbingan konseling, bimbingan cari kerja, dan melamar pekerjaan. Kalau ga, bantuan akan dihentikan di tengah jalan.

      Kalau traveller scammer, saya juga pernah baca dan ini sangat merepotkan. Setuju aja kirim langsung ke Kedubes-nya, Ada baiknya juga ada aturan menyediakan tiket pulang dan uang tertentu sebelum masuk Indonesia.

      Like

  2. Pingback: Sisi gelap negara Jerman modern (2): Kasus bunuh diri | Kurniawan's Views

Leave a comment